Berkoperasi (bagian 1)
Belajar dari Praktik Koperasi Terdekat
oleh: Ian Hasan
Sejak bertahun-tahun lalu penulis menghadapi keresahan sebagian anak-anak muda kritis dalam menyikapi isu-isu pemberdayaan ekonomi, yang sebagian besar bermuara pada pertanyaan-pertanyaan tentang koperasi. Keresahan tersebut berkelindan di antara kegamangan dan harapan tentang adanya solusi nyata dari koperasi sebagai “usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” yang telah lama mereka ketahui.
Realita ketimpangan ekonomi yang masih saja terjadi, kemudian dibenturkan pada keberdayaan diri yang belum sepenuhnya terjamin kokoh, menjadi problematika yang menuntut tersedianya jawaban dengan lekas. Permasalahan sebetulnya bukan terletak pada minimnya potensi, jika melihat rata-rata jenjang pendidikan yang telah ditempuh serta banyaknya aktifitas yang digiati. Tetapi jika dikatakan kurang ada kemauan anak-anak muda mempelajari hal ihwal koperasi, terdengar tidak bijak dan terlalu menghakimi pula.
Kendati demikian, pemahaman otentik atas koperasi sesungguhnya hanya dapat diperoleh dengan menjalankannya langsung lewat praktik nyata, sejelek apapun hasilnya. Untuk itu, tulisan ini sekadar merekam jejak proses memahami koperasi berikut refleksi atas praktik nyata dimaksud. Agar di kemudian hari, setidaknya tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi penulis sendiri, serta siapa pun yang pernah terlibat di koperasi, sekecil apapun lingkupnya.
Istilah ataupun model koperasi memang sudah dikenalkan sejak kanak-kanak, tanpa melihat kedalaman substansi yang dikenalkan dalam praktiknya. Wawancara sederhana terhadap kelompok usia dini tersebut di sekitar rumah, menyimpulkan adanya pemahaman tertentu mengenai koperasi. Anak-anak dalam hal ini telah mendapatkan pengertian tentang koperasi, utamanya terkait dengan pelayanan kebutuhan peralatan dan perlengkapan sekolah, yang dikelola oleh perwakilan guru dan siswa, namun tanpa kejelasan mengenai keanggotaan dan hal-hal lain terkait itu. Kemanfaatan yang sejauh ini dirasakan hanya sebatas ketersediaan barang-barang tersebut manakala dibutuhkan. Sementara itu, praktik menabung siswa yang masih berjalan di era ’80-‘90an—sejauh yang penulis ketahui, di saat sekarang rupanya telah tergantikan pula dengan intervensi bank konvensional ke sekolah-sekolah.
Bentuk pengenalan lain yang masih tidak jauh-jauh dari keseharian masyarakat tentu saja model koperasi warga dalam pelbagai macam bentuk penerapannya. Aplikasi paling sederhana yang pernah penulis ketahui dan ikuti, yakni berupa iuran koperasi tiap bulan yang dikelola oleh satu orang bendahara dengan jumlah anggota sekitar 20 orang dalam satu RT. Bentuk kegiatan yang berjalan berupa simpan-pinjam dengan membagi habis modal yang terkumpul setiap bulan, baik itu dari simpanan wajib ataupun angsuran pinjaman, kepada warga peminjam. Jumlah peminjam rata-rata dua orang per bulan, dengan nilai pinjaman berkisar antara 100-200 ribu rupiah Nilai pinjaman tersebut tidak sepenuhnya bulat—tergantung dana yang terkumpul tiap bulan, dengan nilai jasa yang disepakati bersama. Bendahara koperasi hanya mengelola catatan keuangan, tidak dalam bentuk uang sebagai kas, karena modal selalu habis terserap sebagai pinjaman anggota. Setiap akhir tahun tutup buku, keuntungan koperasi dihitung lalu dibagikan kepada anggota sebagai SHU.
Pada skala ini, penerapan koperasi masih bisa menyentuh aspek kebutuhan dan kemanfaatan yang langsung terasa oleh anggota. Nilai omzet dalam satu tahun tidak begitu besar, berada pada kisaran nilai di bawah 3 juta rupiah. Sistem pengelolaannya pun masih sederhana, dengan tingkat risiko yang relatif kecil karena penyimpangan dalam bentuk apapun—terutama yang menyalahi kesepakatan, akan langsung terasa mengganggu sistem yang berjalan.
Bentuk lain yang kurang-lebih serupa di lingkup komunitas/warga, namun berada pada skala yang lebih besar, yakni berupa koperasi warga yang beranggotakan sejumlah 40-100 orang. Meski begitu, bentuk kegiatan utama yang berjalan masih simpan pinjam, dengan menghimpun simpanan pokok, simpanan wajib, bahkan simpanan sukarela. Secara kelembagaan, ada yang sudah terdaftar resmi sebagai koperasi primer namun juga ada yang belum terdaftar (masih pra-koperasi). Koperasi yang memang tidak/belum terdaftar hanya dikelola oleh seorang bendahara, yang juga merangkap bendahara RT. Untuk pengelolaan dana sekitar hampir 20 juta rupiah setahun, kelembagaan koperasi yang masih tergabung ke organisasi pengurus RT seperti ini sangatlah berisiko. Apalagi ketika nilai pinjaman tidak dibatasi sementara azas kekeluargaan tidak sepenuhnya dimengerti dan dijalankan. Maka kondisi itu rentan memunculkan banyak peluang penyimpangan, baik itu dari anggota ataupun pengurus koperasi sendiri.
Risiko tersebut masih berpeluang terjadi pula di koperasi warga yang telah terdaftar resmi. Bahkan ketika koperasi jenis ini dapat mengajukan bantuan dana hibah untuk program-prorgram pemberdayaan ekonomi warga, risiko itu bertambah besar pula. Karena upaya mengakses program-program seperti itu tidak mempertimbangkan aspek keseriusan dan kesinambungan dalam praktiknya, sehingga seringkali terhenti di tengah jalan ketika dana sudah terserap. Organisasi koperasi—meskipun sudah lengkap dan terpisah dari kepengurusan RT—tidak membawa dampak berarti selama tata laksana dan peran belum dijalankan dengan optimal, termasuk kurangnya kemauan dan upaya memanfaatkan fasilitas pembinaan dari dinas terkait dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat edukasi untuk kebutuhan pengembangan. ***
* Biodata Singkat Penulis
Akrab dipanggil Ian Hasan, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain terlibat pula di beberapa komunitas seni, budaya, dan pendidikan. Menjadi Bendahara RT sejak lima tahun lalu dan belum lama dipercaya sebagai Sekretaris Koperasi Karya Utama Intanpari di Karanganyar.