Mbah Sadiman yang Njawani
Usianya terbilang tak muda lagi ! Cukup sepuh ,66 tahun ,akan tetapi jiwa dan semangat nya tetap muda ! Terbukti , kemarin ketika uklam
uklam (mlaku-mlaku/jalan-jalan) mengelilingi bukit gendol, nafasku ngos-ngosan dan sikilku njarem kabeh (kakiku pegal semua)! Tapi
tidak bagi mbah sadiman! Beliau tetap kuat! Gak due roso kesel blas (tidak punya rasa capek sama sekali)!.
Sebagaimana kebanyakan wong ndeso (orang desa) pucuk gunung, yang jauh dari keramaian serta “tertinggal”. Mbah Sadiman hanya mampu
mengenyam pendidikan sekolah dasar, itu pun gak lulus, dan gak jadi masalah bagi beliau, mindset beliau jauh lebih rahmatal lil alamin
daripada kebanyakan kita yg mengenyam pendidikan taun-taunan terutama dalam hal memesrai alam.
Sudah ratusan, bahkan mungkin ribuan pohon yang beliau tanam, bermodalkan “dengkul” yg kuat berjalan +- 3 km saben dino (setiap hari)
dari rumah beliau ke bukit gendol, kurang lebih sudah beliau mulai 30 tahun lalu, gersang diakibatkan kebakaran hutan bertubi-tubi
,yang menghanguskan ratusan hektar hutan di selatan gunung lawu ini ,pohon-pohon penyimpan air mati kabeh (semua) , terjadilah
kekeringan yang mengakibatkan paceklik cukup lama.
Mbah sadiman muda, Tanpo kakean mikir (tanpa banyak mikir), langsung tandang dewe ple (mengerjakan sendirian), nandur (menanam)
berbagai jenis beringin di bukit gendol yang masuk kawasan KPH surakarta itu, karna itu tanah “negor o”. Banyak pohon yang ia tanam
ditebang oleh sesama warga yang gak “ngerti”. Lah ben aman tanduran e (biar aman tanamannya), mbah sadiman nekad menjual apapun di
rumah untuk membayar sewa lahan ! Ketika sudah ada patok dari KPH, warga lainya pun gak wani (tidak berani) utak-utik petakan lahan
tersebut.
Mbah sadiman memang polos! Disaat paceklik hampir semua orang do mikir weteng e dewe (mikir perutnya sendiri),kalopun isa nanem, mesti
yang bisa cepat dijadikan uang, misal cengkeh, pinus yang waktu itu masih jadi primadona ditanam di dataran tinggi, tapi Mbah Sadiman malah nandur ringin sg ra ono regane tur di anggep “sarang demit” (menanam pohon beringin yang jelas tidak berharga dan dianggap sebagai sarang hantu)….tingkah laku mbah sadiman jadi bahan cemoohan banyak orang “wes bodho edyan sisan” (sudah bodoh, gila juga). Namun seiring waktu ,kegilaan mbah sadiman menjadikan banyk orang “melek matane” (terbuka matanya).
Mbah sadiman berkeyakinan bahwa air itu salah satu sumber kehidupan ! Semua mahluk butuh air , gak ono banyu ! Modyar sak kabehane (gak ada air, mati semua). ia “mengorbankan” waktu dan kepentingan keluarga untuk kepentingan jangka panjang yang lebih luas. bagi belaiu materi itu nomer kesekian! Bahkan kata belaiu, pernah ada yg datang, direktur salah satu produsen aqua, menawar “hak” pohon beringin yg ditanam mbah sadiman, perpohonnya 20 jt, ping (kali) ratusan pohon, wuih piro totale iku yo?! (berapa totalnya itu ya?!). Tapi sama mbah sadiman ditolak! baginya keberlangsungan kehidupan lebih berharga dari segepok uang.
Kini, beliau ngunduh wohing pakarti (menuai buah dari tindakannya), berbagai penghargaan beliau terima! Tamu silih berganti datang dari yang pejabat sampai yang pengangguran (seperti aku).
Beliau menjadi “nur” ditengah kepungan zaman akhir yg kebanyakan manusia pintar mengekploitasi tanpa mereboisasi alam.
Mugi panjang umur lan sehat terus mbah (semoga panjang umur dan sehat selalu mbah), tanduran njenengan seng sak ambane bukit gendol turut berdzikir untukmu hingga dunia ini kiamat (tanaman anda yang seluas bukit gendol ini turut berdzikir untukmu hingga dunia ini kiamat).
-Imam Sonhaji-